Jumat, 30 November 2012

performa kerja, kinerja, unjuk kerja ataukah tampilan kerja - part 1

Pekanbaru, 30 November 2012
Ahmad Fuady
Awalnya, saya bingung dengan ketidak-konsistenan pengertian job performance (literatur kadangkala mendefinisikannya sebagai performa kerja, tampilan kerja, unjuk kerja, kinerja, dll) yang menjadi dasar ketika harus menyusun standar penilaian kinerja. setelah melakukan beberapa riset literatur, saya menemukan beberapa tulisan yang sangat membantu saya unuk memahami performa kerja lebih dalam. Lalu, sadar bahwa saya bukanlah satu-satunya orang yang mungkin mengalami kebingungan akan hal ini, saya iseng-iseng mencoba menterjemahkan kajian tentang performa kerja di beberapa literatur yang saya anggap membantu tersebut dengan harapan bahwa ini juga bisa membantu rekan-rekan yang merasakan kebingungan yang sama sebagaimana yang saya rasakan ketika mecoba memahami performa kerja. Pada kesempatan kali ini saya memilih kajian Jex & Britt (2008) tentang performa kerja dalam buku mereka yang berjudul Organizational Psychology: A Scientist-Practitioner Approach, semoga bermanfaat.




Performa Kerja (Job Performance)

Job performance adalah istilah yang seolah-olah sederhana. Secara sederhana job performance dapat diartikan sebagai “semua perilaku yang dilakukan karyawan selama ia bekerja”. Sayangnya, ini adalah definisi yang tidak tepat, karena seringkali karyawan terlibat dengan perilaku-perilaku yang hanya sedikit bahkan tidak berhubungan sama sekali dengan tugas spesifik jabatannya selama waktu kerja. Contohnya, penelitian yang dilakukan pada anggota militer oleh Bialek, Zapf dan McGuire (1977) menemukan bahwa kurang dari 50% waktu kerja individu-individu tersebut yang digunakan untuk melakukan tugas yang menjadi bagian dari jobdesk mereka. Maka, jika job performance didefinisikan dengan sederhana sebagai perilaku yang ditampilkan oleh karyawan selama bekerja, akan banyak sekali perilaku yang sama sekali tidak berhubungan dengan tujuan organisasi yang harus diikutkan ke dalam terminologi job performance (cont. ngobrol dengan rekan tentang pertandingan bola semalam). Disisi lain, jika job performance hanya dibatasi pada perilaku-perilaku yang berhubungan dengan aspek teknis dari tugas-tugas esensial yang ditampilkan karyawan, maka akan banyak sekali perilaku-perilaku produktif dalam bekerja yang harus disingkirkan dari istilah job performance.

Menurut Campell (1990),  job performance mewakili perilaku-perilaku  karyawan pada saat bekerja yang memiliki kontribusi pada pencapaian  tujuan organisasi. Definisi ini terlihat lebih tepat daripada definisi sederhana sebelumnya yang mendefinisikan job performance sebagai semua perilaku yang ditampilkan oleh karyawan selama waktu kerja. Definisi ini juga tidak terlalu membatasi; job performance tidak dibatasi hanya pada perilaku-perilaku yang terkait langsung dengan pelaksanaan tugas. Salah satu aspek penting lain pada definisi ini adalah bahwa job performance mewakili perilaku-perilaku yang secara formal dievaluasi oleh organisasi sebagai bagian dari tugas dan tanggungjawab karyawan. Aspek definisi ini memisahkan antara job performance dengan perilaku produktif lain yang ditampilkan karyawan selama waktu kerjanya.

Dalam mendefinisikan job performance, penting bagi kita untuk memisahkan antara job performance dengan beberapa istilah lain yang terkait. Menurut Campell (1990), job performance harus dipisahkan dari istilah efektifitas, produktifitas dan kegunaan (fungsi). Efektifitas didefinisikan sebagai evaluasi terhadap hasil dari job performance karyawan. Ada batasan yang penting karena efektifitas karyawan dipengaruhi oleh banyak hal lain disamping job performance. Contohnya, seorang karyawan yang terlibat dengan banyak perilaku produktif mungkin akan tetap bisa mendapatkan penilaian job performance yang buruk (jika diukur berdasarkan efektifitasnya) karena eror yang terdapat dalam penilaian job performance, atau hanya karena ia tidak disukai oleh orang yang ditugaskan untuk menilai job performance-nya.

Produktifitas berhubungan erat dengan job performance dan efektifitas, namun secara esensi hsl ini berbeda dengan kedua istilah tersebut karena produktifitas mengarah pada biaya yang digunakan untuk mencapai level job performance atau efektifitas yang disyaratkan. Contohnya, dua orang sales mungkin akan sama-sama mencapai target penjualan tahunan. Namun salah seorang dari mereka bisa mencapai target tersebut dengan biaya yang lebih rendah daripada rekannya, maka ia akan dikenali sebagai orang yang lebih produktif daripada rekannya yang sama-sama mencapai target penjulan tahunan. Istilah yang sangat dekat hubungannya dengan produktifitas adalah efisiensi, bahkan kedua istilah ini seringkali digunakan secara bergantian. Kedua istilah ini berkenaan dengan level job performance yang yang bisa dicapai pada periode waktu yang telah ditentukan. Jika seseorang memiliki efektifitas yang tinggi, maka ia akan mencapai banyak hal dalam waktu yang singkat. Bisa dianggap bahwa efisiensi adalah bentuk dari produktifitas. Faktanya, beberapa perusahaan sangat memperhatikan efisiensi. United Parcel Service (UPS), menetapkan penekanan yang keras pada efisiensi supir truk mereka yang mengantarkan paket ke konsumen.

Terakhir utility (fungsi, kegunaan) merepresentasikan nilai dari level job performance, efektifitas atau produktifitas yang ditetapkan oleh organisasi. Definisi ini mungkin terkesan berlebihan berdampingan dengan deskripsi efektifitas. Bagaimanapun, kenyataannya utility adalah sesuatu yang sangat berbeda dari efektifitas. Seorang karyawan mungkin mencapai tingkat efektifitas yang tinggi (contoh; hasil job performance-nya dinilai positif), namun utility tetap saja bisa dinilai rendah pada kondisi ini. Sebuah organisasi bisa saja tidak memberikan  nilai yang tinggi terhadap efektifitas yang dicapai oleh karyawannya. Contohnya pada universitas yang berorientasi pada penelitian, produktifitas fakultas riset dan penulisan karya ilmiah atau buku menjadi prioritas yang lebih penting daripada job performance mengajar. Konsekuensinya, mungkin universitas seperti ini bisa saja meniadakan atau mengabaikan jabatan seseorang walaupun ia adalah pengajar yang luar biasa.

Jika diperhatikan dengan seksama, sekilas, pemisahan antara job performance, efektifitas, produktifitas, efisiensi dan utility mungkin terlihat sebagai hal yang remeh. Namun sebaliknya, pemisahan ini sangat penting jika seseorang tertarik untuk memahami dan memprediksi job performance. Banyak penelitian dalam bidang psikologi organisasi yang ditujukan untuk memprediksi “job performance” padahal yang sebenarnya mereka ukur adalah “efektifitas” atau “produktifitas” (Jex 1998). Karyawan secara khas memiliki kontrol yang lebih besar akan job performance ketimbang efektifitas atau produktifitas, jadi seringkali penelitian-penelitian gagal dalam  menjelaskan perbedaan job performance antara karyawan dengan tepat. Kesenjangan ini mungkin berasal dari kesimpulan yang keliru tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan job performance.


Model Job performance Campbell

Model Job performance Campbell berdasarkan pada perbedaan in-role dan extra-role (1990, 1994)

Dimensi Job performance
Deskripsi
Job performance in-role
1.      Keahlian dalam tugas spesifik jabatan
Perilaku-perilaku yang terkait dengan tugas inti unik yang harus ditampilkan dalam setiap jabatan.
2.      Keahlian dalam tugas-tugas ekstra jabatan
Perilaku-perilaku yang juga harus ditampilkan oleh beberapa atau semua orang dalam organisasi, namun bukan merupakan tugas yang spesifik terkait jabatan.
Job performance extra-role
3.      Komunikasi oral dan tertulis
Keahlian untuk mengkomunikasikan tugas secara tertulis dan oral dengan efektif.
4.      Memperlihatkan upaya yang lebih
Level motivasi dan komitmen karyawan pada tugas-tugas dan perannya dalam organisasi. Contohnya; tetap memperlihatkan kemauan untuk menyelesaikan tugas-tugas yang sulit dan tidak menyenangkan.
5.      Menjaga disiplin diri
Mematuhi peraturan-peraturan khusus dan menahan diri dari godaaan melakukan perilaku-perilaku negatif yang mempengaruhi produktifitas serta berusaha tetap melaksanakan tugas.
6.      Memfasilitasi job performance rekan dan tim
Seberapa baiknya individu dalam membantu rekan kerja, disaat mereka membutuhkan bantuan.
7.      Supervisi dan kepemimpinan
Mampu dengan efektif mengawasi dan memimpin orang lain
8.      Manajemen dan administrasi
Mampu dengan efektif mengorganisir dan menjaga memelihara informasi-informasi penting.

Usaha untuk membuat model job performance bertujuan untuk mengidentifikasi seperangkat dimensi job performance yang umum pada semua pekerjaan. Karena jumlah pekerjaan yang terlalu banyak di dunia kerja, maka mencoba untuk menentukan relatif sedikit dimensi-dimensi yang mendasari job performance adalah tugas yang sangat menantang. Bagaimanapun, memodelkan job performance adalah hal yang sangat penting karena banyak sekali penelitian dan praktek dalam psikologi organisasi berpusat pada usaha-usaha untuk memprediksi job performance. Alasan utama kita untuk melakukan penelitian tentang sekian banyak variabel (contoh: motivasi, kepemimpinan, stress) adalah untuk mengetahui dampaknya pada job performance. Walaupun model tentang job performance mengandung banyak dimensi yang berbeda, dua kategori utama job performance bisa ditemukan pada model: in-role job performance dan extra-role job performance (Borman & Motowildo, 1993; Conway, 1999). In-role job performance mengarah pada aspek teknis dalam pekerjaan karyawan. Contohnya, perawat akan diminta untuk melakukan tugas-tugas spesifik seperti mengambil darah, memastikan  asupan obat yang tepat, dan lain-lain. Begitu juga, supir truk harus mengetahui bagaimana cara yang efektif untuk memuat  dan menangani kargo, mengoperasikan mesin yang rumit, dan melakukan tugas teknis jenis lainnya. Extra-role job performance mengarah pada kemampuan nonteknis seperti kemampuan berkomunikasi dengan efektif, memperlihatkan motivasi dan antusiasme dalam bekerja dan menjadi anggota tim yang baik.

Perbedaan antara job performance in-role dan extra-role dapat dilihat dalam tulisan Campbell (1990,1994) mengenai model komprehensif tentang job performance. Campbell mengembangkan modelnya tentang job performance dengan cara menganalisis bermacam-macam rangkaian job performance tentara di Amerika. Berdasarkan analisis terhadap dimensi-dimensi job performance pada berbagai macam pekerjaan, dia berpendapat bahwa job performance pada seluruh pekerjaan dapat dibagi menjadi delapan dimensi sebagaimana yang ditampilan pada tabel diatasn kita bisa mengatakan bahwa dua dimensi yang pertama dalam model Campbell merefleksikan pentingnya in-role  job performance atau tugas. Dimensi yang pertama adalah  job-spesific task proficiency (keahlian pada tugas-tugas spesifik), dan ini mengandung perilaku-perilaku yang berhubungan dengan tugas-tugas inti unik pada setiap jenis pekerjaan. Contohnya, perilaku seperti menghitung uang, mencatat deposit, dan menguangkan cek merepresentasikan beberapa tugas spesifik pekerjaan seorang teller bank. Disisi lain, contoh dari tugas inti pekerjaan dari guru adalah menjadwalkan kegiatan belajar-mengajar, menjaga kedisiplinan siswa, dan berkomunikasi dengan orang tua siswa.

Dimensi kedua yang mewakili job performance in-role dalam model ini adalah non-job spesific task proficiency (keahlian pada tugas-tugas spesifik diluar pekerjaan). Dimensi ini diwakili oleh perilaku-perilaku yang harus ditampilkan  oleh sebagian atau semua anggota organisasi, namun perilaku-perilaku tersebut bukanlah perilaku spesifik pada pekerjaan tertentu. Contohnya, aktifitas dasar yang berhubungan dengan jabatan profesor di perguruan tinggi adalah mengajar dan meneliti. Bagaimanapun, tanpa memperhatikan keahlian khusus seseorang, kebanyakan profesor juga diminta untuk melakukan tugas-tugas umum seperti memberi nasehat pada mahasiswa, berperan dalam komite universitas, menulis karya ilmiah, dan kadangkala mewakili universitas dalam peristiwa-peristiwa resmi tertentu. Dalam dunia militer, prajurit tidak hanya harus mampu  melakukan aspek teknis dari pekerjaannya (seperti menembakkan pistol dan senapan, memastikan ketersediaan pelindung badan dan amunisi), namun mereka juga harus menguasai tugas-tugas umum untuk semua prajurit (contoh; mengetahui bagaimana bereaksi terhadap serang senjata kimia, mengetahui bagaimana caranya untuk membaca peta dan menjelajahi lingkungan yang tidak dikenal).

Kedua dimensi pertama dari model Campbell menggambarkan tugas-tugas yang harus dilakukan sesuai dengan jabatan yang diberikan oleh organisasi yang di wakili oleh job performance in-role. Sementara enam dimensi yang tersisa mewakili job performance extra-role atau dimensi-dimensi kontekstual job performance yang cenderung dimiliki oleh semua pekerjaan.

Dimensi ketiga dinamai written and oral communication task proficiency (keahlian pada tugas-tugas komunikasi oral dan tertulis). Keterlibatan dimensi ini terkait pada kenyataan bahwa pemegang jabatan di hampir semua pekerjaan harus berkomunikasi secara tertulis maupun verbal. Contohnya, seorang guru SLTA dan seorang pengacara sebenarnya memiliki tugas spesifik pekerjaan yang sangat berbeda. Namun bagaimanapun, untuk bisa melakukan pekerjaan mereka dengan efektif keduanya harus berkomunikasi secara periodik, baik secara oral maupun tertulis. Guru mungkin harus berkomunikasi dengan orang tua siswa untuk melaporkan pencapaian pembelajaran siswa, dan pengacara mungkin harus berkomunikasi dengan klien untuk memverifikasi keakuratan informasi yang akan dicantumkan dalam dokumen-dokumen hukum seperti kesepakatan kerjasama maupun kesepakatan perceraian.

Dimensi keempat dan kelima disebut demonstrating effort (menunjukkan usaha yang lebih) dan maintaining personal discipline (menjaga kedisiplinan diri). Menunjukkan usaha yang lebih menggambarkan tingkat motivasi dan komitmen karyawan terhadap tugas-tugas pekerjaannya. Terserah apakah seseorang bekerja sebagai seorang dokter gigi, pemadam kebakaran atau atlit profesional, membutuhkan komitmen terhadap tugas-tugas pekerjaannya. Pada saat yang sama seseorang juga bisa menunjukkan kemauan untuk bertahan dengan tujuan menyelesaikan pekerjaan yang sulit atau tidak menyenangkan. Atlit perofesioan, pada kondisi yang sama, mungkin harus tetap bermain sambil menahan kesakitan untuk tetap bisa membantu timnya. Menjaga kedisiplinan diri adalah ditunjukkan dengan mematuhi aturan-aturan tertentu dan menahan diri untuk tidak melakukan perilaku-perilaku negatif seperti penyalahgunaan zat adiktif atau bentuk lain dari perilaku tidak produktif lainnya. Jika digabungkan, kedua dimensi ini sejatinya akan mewakili tingkat seberapa hebat karyawan berperan sebagai warga organisasi yang baik (good citizen) di tempat kerjanya. 

Dimensi keenam dinamai facilitating peer and team performance (memfasilitasi job performance rekan dan tim). Salah satu aspek dari dimensi ini adalah derajat sebaik apakah seseorang dapat membantu rekannya ketika rekannya membutuhkan pertolongan. Dimensi bisa juga melibatkan perilaku membantu rekan yang memiliki masalah dalam mencapai tenggat waktu, atau mungkin hanya memberikan dorongan semangat orang lain. Dimensi ini juga menggambarkan derajat apakah seorang karyawan adalah pemain tim, ataukah ia bekerja untuk mencapai tujuan kelompok kerjanya. Campbell (1990) berpendapat bahwa dimensi ini mungkin hanya memiliki sedikit kerelevanan jika seseorang bekerja dalam situasi yang benar-benar terisolasi.  Sekarang, ketika banyak perusahaan menekankan pentingnya kerja tim, bekerja sendiri adalah kasus pengecualian (karena sangat jarang ditemukan).

Dimensi ketujuh dan kedelapan disebut supervision/leadership (supervisi/kepemimpinan) dan management/administration (manajemen/administrasi). Kedua dimensi ini menggambarkan aspek job performance sesungguhnya hanya bisa diaplikasikan pada pekerjaan yang memiliki tanggungjawab pengawasan/supervisi. Baik seseorang bekerja sebagai supervisor di sebuah toko, rumah sakit atau pabrik, tetap saja menuntut beberapa perilaku umum. Contohnya, supervisor dalam kebanyakan sering harus menolong karyawan untuk menentapkan tujuan, mengajarkan karyawan metode-metode bekerja dengan efektif, dan menjadi model bagi kebiasaan kerja yang baik. Banyak posisi supervisor juga menyaratkan beragam tugas administratif seperti mengawasi dan mengontrol pengeluaran/biaya, menyediakan sumberdaya tambahan, dan mewakili unit dalam organisasi.

Ketika kita mempertimbangkan setiap aspek dari dimensi job performance, akan menjadi jelaslah bahwa kedelapan dimensi tersebut tidak akan relevan untuk semua pekerjaan. Faktanya, Campbell (1990) berargumen bahwa hanya tiga (keahlian pada tugas inti, menampilkan usaha yang lebih dan menjaga kedisiplinan diri) yang menjadi komponen utama job performance dalam semua pekerjaan.

Perilaku-perilaku seperti menekan menyelesaikan konflik, meningkatkan kepercayaan antara satu sama lain, adalah perilaku-perilaku yang diharapkan oleh organisasi karena berdampak pada mengembangkan komunikasi interpersonal dan kerjasama yang lebih baik dalam organisasi, serta bisa mempermudah individu dalam mengkoordinasikan tugas individual mereka dengan anggota organisasi lain yang terkait. Dampak seperti ini akan menyebar dari level individual ke level kelompok sebagaimana perilaku-perilaku positif tersebut mempengaruhi karaktersitik kelompok seperti, kekompakan, kualitas kerjasama, dan semangat yang menentukan perilaku individu dalam kelompok dan akhirnya mempengaruhi performa anggota kelompok.


Referensi:
Jex, Steve.M., & Britt, Thomas W. 2008. Organizational  Psychology: A Scientist-Practitioner Approach. Newjersey, USA: John Willey & Sons, Inc.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar