SISI
GELAP KEPEMIMPINAN
Palembang, 12 Februari 2012
Ahmad Fuady
sumber gambar: yafi20.blogspot.com |
Tulisan ini adalah saduran dari artikel
berjudul “Disfunctional Leadership” yang ditulis oleh Manfred Kets de Vries,
seorang profesor psikologi klinis pada bidang pengembangan kepemimpinan di
INSEAD, Perancis. Tulisan ini juga pernah terbit sebagai bagian dalam Encyclopedia of Leadership yang
ditebitkan oleh SAGE Publishing pada tahun 2004.
Pendahuluan
Bayangkan sebuah skenario di sebuah
pemukiman, dua orang anak yang sedang bertengkar hebat, mereka saling menendang,
menjambak, berguling-guling sambil menyemburkan sumpah serapah. Hingga akhirnya beberapa orang tetangga yang menonton memanggil ibu kedua orang anak tersebut untuk
melerai mereka. Ketika dipisahkan oleh ibu mereka sambil diocehi, salah seorang
anak membela diri dengan berkata, “dialah yang awalnya mengataiku dirut korup!”.
Kepemimpinan dipandang sebagai
aktifitas yang ramah dimana pemimpin bekerja untuk memberikan kebaikan pada karyawan, perusahaan dan para pemangku kepentingan. Namun skandal yang terjadi pada
beberapa perusahaan besar seperti Tyco, Enron dan WorldCom menyingkapkan
keburukan kepemimpinan. Kebanyakan penelitian tentang kepemimpinan menekankan sisi positif kepemimpinan, dimana kepemimpinan adalah salah satu aspek dalam transformasi, mengikutsertakan
hampir semua nilai moral dalam bertugas. Tetapi cara pandang seperti itu
terlihat seolah-olah mengenyampingkan sisi gelap dari kepemimpinan, sisi dimana
pemimpin memiliki kekuasaan yang menyertai perannya. Pada sisi inilah berkembangnya sifat-sifat seperti besar kepala (self-aggrandizement), merasa berhak menerima atau melakukan sesuatu, sifat narsistik, perilaku menipu diri sendiri (melawan hati nurani) dan
penyalahgunaan kekuasaan. Dalam psikopatologi kepemimpinan, kombinasi dari
kepribadian neurotik dan kekuasaan bisa (bahkan bisa dikatakan hampir
selalu) membawa kehancuran sosial dan bisnis.
Walaupun sudah sangat jelas potensi
bahaya dari sisi gelap kepemimpinan yang mengintai dari belakang, banyak
pemimpin yang tidak memiliki keinginan untuk mengatasinya dengan mengambil
langkah antisipatif. Mereka ragu untuk mengkaji diri mereka sendiri, dan
kalaupun mereka melakukannya, mereka seringkali menolak untuk mengakui
kekurangan yang mereka temukan dalam diri mereka sendiri. Mereka menolak untuk
menerima dan menghadapi bahwa kelemahan mereka, karakter kepribadian mereka
yang bermasalah dan struktur defensif yang mereka gunakan akan berakibat
negatif pada organisasi. Mereka semua terlalu tergesa-gesa untuk menyangkal
bahwa tekanan yang menyertai peran kepemimpinan bisa saja memiliki kontribusi
dalam berkembangnya perilaku-perilaku kepemimpinan disfungsional yang nantinya
akan merusak citra kepemimpinan dan diri mereka sendiri, bahkan lebih jauh akan
menghancurkan organisasi.
Tekanan
psikologis yang dialami pemimpin
Berikut tekanan psikologis yang
seringkali dialami oleh pemimpin:
1. Kesepian
dalam kekuasaan. Begitu
seseorang mencapai posisi puncak dalam organisasi, berbarengan dengan itu
stress dan frustrasi juga ikut dikembangkan karena jaringan hubungan dan
dukungan akan seketika berubah dan hubungan dengan rekan-rekan yang dahulunya
dekat menjadi sedikit demi sedikit menjauh.
2. Kecanduan
akan kekuasaan. Ketakutan
akan kehilangan kekuasaan (khususnya posisi puncak) seringkali sangat sulit
untuk dihadapi sehingga banyak orang yang terdorong untuk melakukan
perbuatan-perbuatan yang dimotivasi oleh kedengkian.
3. Ketakutan
akan kritik dan kecemburuan.
Beberapa orang merasa sangat terganggu ketika mereka menjadi sasaran
kecemburuan dan kritik, padahal hal tersebut adalah hal yang lumrah, yang
selalu mengikuti kepemimpinan. Namun perasaan ini bisa saja berkembang menjadi
ketakutan yang nantinya melahirkan perilaku yang merugikan diri sendiri, yang
sedikit demi sedikit merenggut pemimpin dari bangku kekuasaannya dengan akhir
yang buruk.
4. Pengalaman
“apa lagi yang harus kulakukan?”
Setelah mencapai ambisi yang menjadi impian seumur hidup, kadangkala pemimpin
mendapati diri mereka terpuruk dalam depresi, merasa tidak ada lagi hal yang
harus mereka perjuangkan.
Semua proses psikologis diatas bisa
menimbulkan stress, kecemasan dan/atau
depresi, yang selanjutnya akan memprovokasi seseorang untuk melakukan
perilaku-perilaku irasional dan tidak bertanggung jawab yang akan mempengaruhi
budaya organisasi dan pola pengambilan keputusan (kets de Vries 1993; Kets de
Vries, 2001). Kebanyakan tekanan-tekanan tersebut muncul dari cara-cara khusus
yang dipelajari individu untuk menanggulangi perubahan kecenderungan
narsistime.
Peran
Narsisme
Proses tumbuh kembang manusia biasanya
diiringi oleh sedikit banyaknya frustrasi. Dalam kandungan, manusia berada
dalam mode auto pilot, dimana semua kebutuhannya diatasi dengan segera secara
otomatis oleh tubuh ibu. Situasi tersebut berubah begitu bayi dilahirkan ke
dunia. Untuk mengatasi rasa frustrasi dalam usaha untuk memenuhi kebutuhannya
dan keinginan untuk dikenali (bereksistensi), sebagaimana usaha untuk mengatasi
rasa ketidakberdayaan, bayi mencoba untuk mempertahankan jejak-jejak kondisi
sempurna dan bahagia yang pernah ia rasakan pada kehidupan dalam rahim
sebelumnya dengan cara berusaha untuk menciptakan dua kondisi sekaligus, yaitu membangun
citra diri ideal yang penuh kemegahan, kehebatan
(eksibisionisme), berkuasa mutlak dan
mengidealkan citra orang tua (Kohut, 1971). Seiring perjalanan waktu, tekanan realita melemahkan
kedua bentuk citra ideal ini; khususnya oleh orang tua, saudara kandung,
pengasuh dan guru yang memodifikasi eksibisionisme bayi dan menyalurkan fantasi
kemegahan bayi. Bagaimana reaksi utama pengasuh terhadap perjuangan anak untuk mengatasi
kebingungan paradok pada masa bayinya (kebingungan tentang bagaimana caranya
untuk memecahkan ketegangan antara rasa ketidakberdayaan versus perasaan
kemegahan akan diri sendiri, yang umumnya dijumpai pada hampir semua anak)
adalah hal terpenting dalam kesehatan psikologis anak. Resolusi terhadap
ketegangan inilah yang akan mempengaruhi kemampuan emosional seseorang
dikemudian hari. Resolusi yang tidak memadai seringkali menghasilkan perasaan
marah, menuntut pembalasan dendam, dan perasaan lapar akan kekuasaan personal.
Jika perasaan lapar kekuasaan tersebut didak dapat diselesaikan dengan tepat
pada beberapa fase perkembangan kanak-kanak, perasaan ini mungkin muncul dengan
cara yang sangat destruktif/merusak pada masa dewasa.
Penjelasan panjang lebar diatas
bercerita tentang pengasuhan. Anak-anak yang mengalami pola pengasuhan disfungsional
yang ekstrim seringkali berprasangka bahwa mereka tidak bisa mengandalkan cinta
atau kesetiaan orang lain. Sehingga setelah dewasa mereka tetap bermasalah
dengan perasaan kehilangan, marah dan kehampaan, dan mereka terpaksa mengatasi
hal ini dengan cara menjadi individu narsistik yang berlebihan.
Melalui sudut pandang konseptual,
narsisme terbagi kepada dua jenis yaitu,
konstruktif dan reaktif (Kets de Vries, 1993). Narsistik konstruktif adalah
orang-orang yang cukup beruntung memiliki pengasuh yang mengetahui bagaimana
caranya untuk memberikan rasa frustrasi yang tepat, seperti rasa frustrasi yang
cukup (age-appropiate frustration)
untuk memunculkan rasa tertantang tapi tidak terlalu kuat sehingga membuat anak
kewalahan. Pengasuh ini mampu memberikan lingkungan yang suportif untuk anak,
yang mengarahkan anak untuk mengembangkan rasa percaya dan rasa mampu
mengontrol perilakunya sendiri. Orang-orang yang tumbuh dengan pola asuh seperti
itu cenderung memiliki keseimbangan mental yang relatif stabil, harga diri yang
positif, kemampuan untuk mengitrospeksi diri, memandang dengan empati dan
memancarkan vitalitas positif.
Disisi lain, narsistik reaktif adalah
anak-anak yang kurang beruntung. Bukannya mendapatkan rasa frustasi yang
sesuai, mereka justru memperoleh stimulasi yang berlebihan atau kacau-balau (chaotic), tidak konsisten, yang kemudian
akan mewariskan perasaaan ketidakcukupan (merasa kurang) dan kehilangan. Untuk
mengatasi rasa ketidakcukupan, orang-orang macam ini akan seringkali
mengembangkan perasaan pentingnya diri (self-importance)
dan kemegahan diri (self-grandiosity),
bersamaan dengan itu turut berkembang pula kebutuhan untuk dipuja. Untuk
mengatasi rasa kehilangan, mereka mengembangkan perasaan berhak untuk menerima
atau melakukan suatu hal (cont. karna dulu aku dulu selalu ditinda, merasa
wajar saja jika sekarang gantian menindas; meminta penghormatan tidak pada
tempatnya), percaya bahwa mereka layak untuk mendaparkan perlakuan
khusus/spesial dan percaya bahwa peraturan hanya berlaku untuk orang lain dan
dirinya adalah pengecualian. Lebih lanjut, karena tidak memiliki pengalaman
empatetik, orang-orang ini juga kurang memiliki empati, mereka tidak mampu
untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain. Mereka secara khusus tergoda
dengan masalah kekuasaan, status, prestise dan superioritas. Mereka juga
mungkin mengalami apa yang disebut “monte
cristo complex” (merujuk pada tokok utama malang dalam novel karya
Alexandre Dumas yang berjudul “The Count
of Monte Cristo” yang terobsesi oleh pembalasan sakit hatinya karena harus
dipenjara karean tuduhan yang sama sekali tidak dilakukannya), berasyik-masyuk
dengan perasaan iri, dengki, dendam dan/atau mengalahkan orang lain. Singkatnya
mereka dihantui oleh kebutuhan untuk mengalami imajinasi bahkan mungkin
ketidakbahagiaan/kepedihan/kemalangan yang sebenarnya.
Hubungan
Transferensial
Transferens, perilaku menggunakan pola
hubungan di masa lalu untuk menghadapi situasi saat ini adalah fenomena umum. Kenyataannya
melakukan reaksi transferens setiap hari. pimpinan yang tidak mau mendengarkan
pendapat mengingatkan kita pada ibu, rekan kerja yang pendiam mengingatkan kita
pada ayah akan menginspirasikan perasaan yang sama sebagaimana perasaan yang
muncul terhadap orang tua kita. Jejak psikologis dari pengasuh (biasanya orang
tua) menyebabkan kebingungan terkait waktu dan tempat. Sehingga kita cenderung
akan memperlakukan orang lain pada saat ini hampir sama caranya sebagaimana
kita memperlakukan orang-orang yang penting artinya bagi kita di masa lalu,
jejak-jejak ini akan menetap pada diri kita dan menuntun kita untuk
berinteraksi sepanjang kehidupan kita.
Ada dua macam bentuk transferens yang
biasanya muncul di situasi kerja (yang biasanya dilebih-lebihkam oleh narsistik
reaktif) yaitu mirroring (pencerminan?) dan idealizing (pengidealan?) dikatakan
bahwa cerminan awal dari bayi adalah ibunya. Identitas dan pikiran awal
seseorang sangat ditentukan oleh hubungannya dengan ibu, khususnya pada masa-awa
awal selama periode narsistik tahap perkembangan. Bermula dari cerminan awal
inilah, proses mencerminkan (yang menjadi isyarat akan keberadaan dan
perlakukan kita kepada lingkungan sekitar) menjadi aspek yang terus-menerus ada
dalam kehidupan kita dan hubungan yang kita miliki dengan orang lain.
Idealizing adalah proses yang lazim, sebagai cara yang kita gunakan untuk
menangani perasaan ketidakberdayaan, kita akan mengidealkan bahwasanya orang
lain sangat penting bagi kita, diawali dengan para pengasuh kita, menyematkan
suatu bayangan/gambaran yang kuat pada mereka. Melalui proses idealizing ini,
kita berharap bahwa kita bisa menangani perasaan katidakberdayaan dan
mendapatkan sedikit kekuatan dari orang yang kita kagumi.
Ketika mirroring dan idealizing muncul
dalam seting organisasi, pola-pola transferensial ini akan mempercepat
terjadinya proses dimana pengikut tidak akan merespon pimpinan sesuai dengan
realita keadaan, tetapi mereka merespon berdasarkan identifikasi pimpinan
dengan figur penting di masa lalu mereka. Seperti orang tua atau orang-orang
lain yang memiliki otoritas. Warisan emosional yang dimiliki oleh para pengikut
mendorong mereka untuk mentransfer banyak harapan dan fantasi masa lalu mereka
kepada orang-orang yang memiliki kekuasaan atau otoritas. Idealizing transference ini menciptakan perasaan dilindungi dan
mendapatkan pantulan kekuasaan dari pimpinan (merasa memiliki kekuasaan
sebagaimana yang diberikan oleh pimpinan, padahal sebenarnya tidak).
Pemimpin narsistik reaktif biasanya
akan merespon kekaguman seperti ini, seringkali menjadi sangat tergantung pada
kekaguman orang lain padanya sehingga mereka tidak bisa berfungsi dengan baik
tanpa mendapatkan hal ini dari orang lain. Ini adalah godaan mematikan yang
membujuk pemimpin untuk mempercayai bahwa mereka adalah bentuk nyata dari ilusi
yang diciptakan bawahan tentang mereka. Kondisi ini seperti jalan dua arah,
diamana bawahan memproyeksikan fantasi-fantasi mereka kepada pemimpin, dan
pemimpinan mencerminkan dirinya dirinya sebagaimana diinginkan bawahan. Seorang
pemimpin yang narsistik reaktif membuat penunjukan (terkait jabatan) dan jabatan
(yang dipegangnya) saling berkolaborasi sebagai pelampiasan dalam pengujian
realita: mereka akan sangat senang ketika mereka berada dalam kelompok yang
saling mengagumi satu sama lain, katakanlah seperti berada di ruangan penuh
cermin sehingga mereka bisa melihat apa yang ingin mereka lihat dan mendengar
apa yang ingin mereka dengar. Ketika ada bawahan yang memberontak dan mengganggu
cara pandangnya idealnya terhadap dunia, maka sang pemimpin akan menganggap
ketidaksetujuan semacam itu sebagai serangan langsung yang bersifat personal,
sehingga ia bisa saja bertindak diluar batas kewajaran. Seandainya anda tahu,
ini adalah perilaku ‘tantrum’ (perilaku mengamuk yang biasanya ditampilkan oleh
anak-anak) yang digagas oleh perasaan ketidakberdayaan dan terhina di masa
kanak-kanak. Namun tidak seperti di masa kecil, sekarang pimpinan tersebut
memiliki kekuasaan yang memungkinkanya untuk melakukan aksi-aksi intimidasi
yang bisa merusak lingkungan sekitarnya.
Perilaku meledak-ledak seperti ini
bisa saja menimbulkan masalah-masalah seperti mengintimidasi bawahan, sehingga
pimpinan menampilkan kemunduran kondisi psikologis dengan berperilaku seperti
anak-anak. Untuk mengatasi beberapa kecemasan yang ditimbulkan oleh perilaku
agresi pimpinan, bahawan mungkin terpaksa untuk bereaksi defensif yang dikenal
sebagai pengidentifikasian agresor, yang selanjutnya mengubah status mereka
dari yang tadinya terancam menjadi mengancam.
Pada suasana penuh ketergantungan
sepeti ini, dunia akan dilihat secara kontras, hitam dan putih saja. Dengan
kata lain, orang akan mendukung atau melawan pimpinan. Pemikir-pemikir
independen (mandiri) akan diberangus (dipecat/dikeluarkan atau mungkin keluar
sendiri dari organisasi), sementara mereka yang enggan untuk bekerjasama akan
menjadi penjahat yang akan menjadi taget baru kemarahan pimpinan. Pengidentifikasian
agresor memberi dukungan pada perilaku-perilaku destruktif pemimpin, seolah-olah
perilaku tersebut adalah jalan yang benar. Pengidentifikasian agresor membantu
pemimpin untuk menangani musuh-musuhnya. Rasa bersalah yang disebabkan oleh
perilaku-perilaku destruktif ini akan terus-menerus memunculkan kambing hitam
untuk setiap kesalahan yang dilakukan pemimpin, dengan cara merancang peran
penjahat untuk seseorang yang nantinya akan sasaran pembalasan dendam jika
muncul permasalahan dikemudian hari. para kambing hitam ini memiliki fungsi
penting, mereka menjadi stabilisator eksternal bagi identitas dan kontrol
internal anggota organisasi lain (dengan kambing hitam, walaupun suatu
kesalahan fatal terjadi, tapi moral kelompok masih bisa dipertahankan sehingga
tidak meruntuhkan produktifitas organisasi). kambing hitam menjadi sasaran
untuk melampiaskan semua hal yang ditakuti, semua hal yang dipandang buruk.
Skenario-skenario menakutkan diatas
akan memberikan berbagai hasil, namun bisa dipastikan semuanya negatif. Pada
kasus ekstrim, hal ini bisa mengarah pada perilaku penghancuran diri sendiri
yang dilakukan oleh pimpinan, secara profesional, dan akan menyebabkan kematian
organisasi. Sebelum keruntuhan organisasi terjadi, biasanya akan muncul
beberapa hal, ketika anggota organisasi menyadari bahwa telalu tinggi dampak
buruk yang akan dialami organisasi jika berpartisipasi dalam persekongkolan
(kongkalikong) dengan pimpinan. Keadaan akhirnya mungkin meliputi revolusi
(penurunan paksa) dimana pimpinan akan digulingkan ketika perilaku-perilaku
kejam dan menghinya tidak bisa ditoleransi lagi. Bawahan mungkin akan menyadari
bahwa mereka hanya akan menjadi pihak yang dikorbankan untuk mensucikan altar
‘ketidakpuasan’ dalam kemurkaan pimpinan. Menggulingkan pimpinan akan menjadi
usaha terakhir untuk mengakhiri sihir jahatnya di organisasi.
Organisasi
Neurotis
Walaupun narsisme reaktif adalah
faktor yang paling menonjol dalam kepemimpinan disfungsional, ada beberapa
bentuk kepribadian lain yang memiliki kontibusi atas kepemiminan dan organisasi
disfungsional. Dalam organisasi dengan pemusatan kekuasaan yang kuat,
bentuk-bentuk kepribadian tersebut akan menghasilkan patologi
(kelainan/penyakit) organisasi, sebagaimana yang kita sebut dengan ‘organisasi
neurotis’, salah satu contohnya adalah organisasi dengan pimpinan eksekutif
(manajerial) yang kaku, bergaya neurotis yang dicerminkan dari
strategi-strategi, struktur, budaya organisasi dan pola pengambilan keputusan
yang tidak tepat.
Ada lima jenis karakter organisasi
neurotis yang seringkali ditemukan, yaitu: dramatis/cyclothymic (kecenderungan manic-depressive), curiga, detached
(terpisah/memisahkan diri), depresif, dan kompulsif (Kets de Vries dan Miller 1984). Di akhir
tulisan akan dijelaskan gambaran setiap tipe organisasi, gaya kepemimpinan dan
ancaman internal terkait dengan karakter organisasi. Dalam banyak kasus,
kekuatan solid (contohnya, perhatian penuh pimpinan pada gerakan rivalnya) akan
berubah menjadi kelemahan (seperti
kekhawatiran yang sehat berubah menjadi kecurigaan yang sempurna), akan
mencemari atmosfir organisasi. Ketika hal ini terjadi, organisasi harus segera
berubah untuk bisa terus bertahan. Sayangnya, gaya yang sudah sangat mengakar
pada sejarah dan karakter organisasi ini menyebabkan perubahan akan terasa
sangat sulit untuk dilakukan.
Langkah awal untuk mengubah organisasi
adalah mengenali sinyal-sinya berbahaya yang dipancarkan oleh kepemimpinan
disfungsional dan organisasi disfungsional. Langkah awal ini menyarankan agar
para pemimpin organisasi tergerak untuk melihat kedalam diri mereka sendiri dan
secara jujur (walaupun menyakitkan) menilai diri mereka sendiri. Karena akan
sangat sulit untuk mengidentifikasi permasalahan dan membuat pilihan-pilihan
baru jika organisasi sudah terperangkap dalam pola-pola aksi penghancuran diri
sendiri, para pemimpin pada posisi ini harus memiliki keberanian untuk meminta
pertolongan. Dibutuhkan kunci untuk melepaskan pimpinan yang telah terperangkap
dalam penjara psikis. Dengan cara menyemangati mereka untuk melihat apa yang
mereka lakukan terhadap organisasi dan diri mereka sendiri, dan menawarkan
alternatif-alternait perilaku yang bisa mereka lakukan, pihak-pihak eksternal
yang berkompeten bisa memberikan kunci penjara tersebut kepada mereka.
Dulu Napoleon pernah berkata bahwa
pemimpin itu adalah pedagang yang memperdagangkan harapan. Mereka akan sukses
ketika mereka mampu berbicara berdasarkan imajinasi kolektif pengikutnya serta
mampu menciptakan suatu tujuan dan makna kolektif pada pengikutnya. Untuk
menyelesaikan tugas-tugas tersebut dengan efektif, para pimpinan harus
memutuskan hubungan dengan godaan-godaan kecenderungan narsistik dengan cara
melihat kedalam diri mereka dan mengenali ketidaksempurnaan mereka. Mereka
harus mengembangkan kecerdasan emosinal, suatu proses yang dimulai dengan
meningkatkan kesadaran diri (self
awareness).
Lima
Tipe Kepemimpinan Neurotis
1. Dramatis/Cyclotymic (kecenderungan manic depressif)
a. Organisasi
Ditandai
dengan sentralisasi berlebihan yang menghalangi pengembangan sistem informasi
yang efektif; produk yang terlalu sederhana dan pasar yang terlalu luas; manajerial
lapis kedua kurang memiliki pengaruh dalam organisasi.
b. Pimpinan
Mencari
perhatian; mengharapkan kegembiraan, aktifitas dan stimulasi; digerakkan oleh
perasaan layak untuk mendapatkan dan melakukan sesuatu (sense of entitlement); cenderung ekstrim.
c. Budaya
Seimbang
dalam menyesuaikan antara rasa ketergantungan pada bawahan dan kecenderungan
mempertahankan kekuasaan; ditandai dengan idealizing dan mirroring yang
dilakukan pimpinan untuk meningkatkan inisiatif dan semangat bawahan.
d. Strategi
Hiperaktif,
impulsif, spekulatif, berbahaya ketika lepas kontrol, melakukan pengangkatan
jabatan semata-mata berdasarkan spekulasi; melakukan pengejaran pertumbuhan dan
difersifikasi perusahaan dengan tidak konsisten; bertindak berdasarkan
pengambilan keputusan yang tidak partisipatif.
e. Motif
pembimbing
“Aku
ingin mendapatkan perhatian dan terlihat mengesankan bagi orang-orang yang
berarti dalam hidupku”.
2. Penuh kecurigaan
a. Organisasi
Ditandai
dengan pemrosesan informasi yang rumit, melakukan analisis tren eksternal
secara berlebihan, dan kekuasaan yang tersentralisasi.
b. Pimpinan
Melakukan
persiapan dengan penuh kewaspadaan untuk membalas setiap serangan dan ancaman
personal yang muncul, terlalu sensitif, dingin dan kurang bisa menunjukkan
ekspresi emosional, pencuriga dan tidak mudah percaya, terlalu jauh terlibat
dengan peraturan dan hal-hal detil untuk memastikan ia memiliki kontrol penuh,
sangat menginginkan informasi (penuh selidik), kadangkala berkeinginan untuk
membalas dendam.
c. Budaya
Membudayakan
sikap “berperang atau tinggalkan”, ketergantungan pada orang lain dan takut
diserang, menekankan pentingnya informasi, menumbuh-kembangkan perilaku
mengintimidi, keseragaman dan sikap kurang mmepercayai satu sama lain.
d. Strategi
Reaktif
dan konservatif, terlalu analitis, diversifikasi (memecah bisnis inti) dan
merahasiakan informasi.
e. Motif
pembimbing
“Beberapa
kekuatan di luar sana sedang mengintai untuk menghancurkanku. Sebaiknya aku berjaga-jaga.
Aku benar-benar tidak bisa mempercayai orang lain”.
3. Detached (terpisah/memisahkan diri)
a. Organisasi
Detandai
dengan fokus internal, kurang memperhatikan keadaan lingkungan eksternal, dan
memaksakan diri untuk membatasi aliran informasi.
b. Pimpinan
Menarik
diri dan tidak mau terlibat, kurangnya minat pada masa saat ini dan masa depan,
kadangkala cuek pada pujian dan kritik.
c. Budaya
Emosi
yang kurang hangat, mengontrol konflik, terserang wabah ketidakpastian dan
perebutan kekuasaan.
d. Strategi
Bimbang,
tidak tegas dan tidak konsisten; berkembang dalam sudut pandang yang dangkal.
e. Motif
pembimbing
“Realita
tidak menawarkan kepuasan apapun. Interaksi dengan orang lain memang dirancang
untuk gagal, jadi lebih aman bagi saya untuk menjaga jarak”.
4. Depresif
a. Organisasi
Ditandai
dengan adanya ritual, birokrasi, tidak fleksibel, terlalu banyak hirarki,
kurangnya komunikasi internal, dan menolak perubahan.
b. Pimpinan
Kurang
percaya diri, terserang permasalahan harga diri, takut untuk sukses (oleh
karena itu ia menjadi toleran terhadap keadaan standar/sedang dan kesalahan),
tergantung pada penasehat.
c. Budaya
Pasif
dan kurang inisiatif, kurang motivasi, tidak mengacuhkan pasar, ditandai dengan
kekosongan pemimpin, menghindar.
d. Strategi
Terserang
wabah “decidophobia” (takut mengambil keputusan), fokus kedalam, kurangnnya
kewaspadaan pada perubahan kondisi pasar, mengapung tanpa arah, terperangkap
dalam ke-kuno-an, membidik pasar yang sudah matang.
e. Motif
pembimbing
“Percuma
saja berusaha mengubah arah peristiwa. Saya belum cukup hebat untuk bisa
melakukannya”.
5. Kompulsif
a. Organisasi
Ditandai
dengan kekakuan peraturan formal, sistim informasi yang rumit, prosedur
evaluasi yang hanya bersifat ritualitas, penekanan pada ketelitian dan
ketepatan yang berlebihan, dan dengan hirarki dimana status eksekutif secara
individual berasal dari posisi tertentu.
b. Pimpinan
Cenderung
untuk mendominasi organisasi secara keseluruhan, bersikeras agar semua orang
mematuhi peraturan tertulis, dogmatis (fanatisme terhadap suatu ajaran atau
pandangan) atau keras kepala. Terobsesi pada kesempurnaan, detil, rutinitas,
ritual, efisiensi dan organisasi teratur.
c. Budaya
Kaku,
mengarah kedalam dan picik; dipenuhi oleh karyawan yang patuh, tidak kreatif,
dan merasa tidak aman.
d. Strategi
Terfokus
dan terhitung dengan ketat, ditandai dengan adanya proses evaluasi yang
menyeluruh dan mendalam, lambat dan tidak adaptif, percaya pada tema-tema
dangkal dan umum, terobsesi pada satu aspek strategi (contohnya pemangkasan
biaya atau kualitas) dan meniadakan faktor-faktor lain.
e. Motif
pembimbing
“Aku
tidak ingin bermurah hati terhadap segala sesuatu. Aku harus menguasai dan
mengontrol semua hal yang bisa mempengaruhiku”.
Referensi
Kets de Vries, M. F. R. 2001, The Leadership Mystique. London:
Financial Times/Prentice Hall.
Kets de Vries, M. F. R. 1993. Leaders, Fools, and Impostor. San
Francisco: Jossey-Bass.
Kets de Vries, M. F. R. & D.
Miller. 1984. The Neurotic Organization.
San Francisco: Jossey-Bass.
Kohut, H. 1971. The Analysis of Self. New York: International University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar