Ahmad Fuady
Jakarta, 17 Desember 2012
Kali ini Saya menterjemahkan kajian performa kerja yang diuraikan oleh Borman dkk (2003) dalam buku mereka yang berjudul Handbook of Psychology: Volume 12 Industrial and
Organizational Psychology. Semoga bermanfaat.
Performa Kerja (Job Performance)
Performa
kerja didefinisikan sebagai nilai total yang diharapkan organisasi dari episode
perilaku-perilaku berbeda yang dilakukan individu dalam standar periode waktu
tertentu. Salah satu gagasan yang penting dalam definisi ini adalah bahwa performa
kerja adalah perilaku. Secara khusus, performa kerja adalah kumpulan dari
banyak perilaku yang berbeda-beda yang muncul selama rentang waktu tertentu.
Ide penting yang kedua adalah kemana arah perilaku tersebut, seharusnya
perilaku-perilaku dalam prestasi kerja mengarah pada nilai yang diharapkan oleh
organisasi. Jadi, prestasi kerja yang dimaksudkan oleh definisi ini adalah
variabel yang membedakan seperangkat perilaku yang dilakukan oleh individu yang
berbeda dan antara seperangkat perilaku yang dilakukan oleh individu yang sama
pada waktu yang berbeda. Perbedaan tersebut muncul dari seberapa kuat pengaruh
perilaku-perilaku tersebut (secara agregat) berkontribusi ataupun melenceng
dari efektifitas organisasi. Dengan kata lain, variasi dalam prestasi kerja
adalah variasi dalam perilaku yang diharapkan oleh organisasi. (Borman dkk,
2003: 39)
Performa merujuk pada perilaku
Perilaku,
performa, dan hasil kerja tidaklah sama.
Perilaku kerja adalah segala yang dilakukan oleh individu pada waktu kerja. Performa
kerja adalah nilai organisasi yang diharapkan dari perilaku kerja individu.
Hasil kerja adalah keadaan atau kondisi individu atau benda yang berubah karena
apa yang mereka lakukan untuk berkontribusi atau menyimpang dari efektifitas
organisasi. Karena itu, hasil adalah adalah jalan bagi perilaku individu untuk
menolong atau menghalangi organisasi mencapai tujuan-tujuannya, hal tersebutlah
yang menyebabkan kita cenderung untuk fokus kepada hasil kerja ketika
memikirkan performa kerja individu.
Setidaknya
ada dua manfaat konseptual dan praktis ketika kita membangun konstruk performa
kerja dari perilaku individu ketimbang dari hasil perilaku individu. Pertama,
keadaan dan kondisi dari benda atau individu yang berubah karena perilaku
individu juga sering dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang berada di luar
kontrol individu itu sendiri. Argumen ini menganggap perbedaan antara dua jenis
situasi, hambatan atau kesempatan. Salah satu jenis situasi tersebut akan
mempengaruhi kemungkinan apakah individu akan melakukan perilaku yang
diharapkan untuk menolong atau menyakiti organisasi. Kedua jenis situasi inilah
yang menentukan performa kerja sebagaiaman yang telah disampaikan sebelumnya.
Faktor-faktor situasional jenis inilah yang membuat apakah seseorang merasa
mudah atau berat untuk menampilkan perilaku yang secara potensial berkontribusi atau
menghambat efektifitas organisasi dengan cara secara langsung menentang
ataupun memfasilitasi munculnya respon-respon perilaku yang menentang efektifitas organisasi. Contoh, ketersediaan
peralatan yang dibutuhkan atau sumber daya yang langka akan mempengaruhi
kemungkinan apakah individu untuk menampilkan perilaku yang melibatkan
penggunaan peralatan dan bahan baku tersebut untuk menghasilkan produk ataupun
layanan bagi organisasi; sementara itu, jenis kedua dari situasi hambatan dan
kesempatan akan mempengaruhi hasil kerja yang diharapkan organisasi tanpa harus
mempengaruhi perilaku performa kerja individu. Contohnya, faktor-faktor ekonomi
dan kondisi pasar dapat memiliki dampak langsung pada volume penjualan dan
keuntungan tanpa harus menghambat atau memfasilitasi perilaku performa kerja
individu yang terlibat dalam proses produksi barang atau jasa. Jadi, walaupun
situasi hambatan atau kesempatan yang mempengaruhi perilaku individu dilihat
sebagai penentu performa kerja, namun situasi kesempatan atau hambatan yang
berdampak pada hasil perilaku individu tidaklah dilihat sebagai penentu performa
kerja.
Kedua,
jika psikologi sebagai ilmu perilaku, dan jika ilmuan psikologi berkeinginan
untuk memahami dan mengelola performa kerja, sebaiknya kita menafsirkan performa
sebagai fenomena perilaku. Mendefinisikan performa sebagai bagian dari perilaku
ketimbang hasil akan memberi kita kesempatan untuk mengembangkan pemahaman
tentang proses psikologis yang bermain dalam
pengambilan keputusan seleksi, pelatihan, motivasi, dan proses
situasional memfasilitasi atau melemahkan; ini juga memberi kita kesempatan
untuk dapat mengaplikasikan dengan sukses prinsip-prinsip psikologi untuk
mengelola proses-proses ini.
Salah
satu pandangan berpendapat bahwa perilaku kerja adalah aliran berkelanjutan yang
berlangsung selama waktu kerja individu. Selama 8 jam kerja dalam sehari
individu melakukan banyak hal yang mungkin menolong ataupun menghalangi pencapaian
tujuan organisasi. Seperti melakukan perilaku-perilaku yang tidak memiliki
dampak pada performa kerja mereka. Jadi, aliran perilaku kerja dikatakan performa
kerja ketika individu melakukan sesuatu yang benar-benar menghasilkan
perbendaan terkait pada tujuan organisasi; episode-episode perilaku inilah yang
masuk kedalam ranah performa kerja.
Namun
ini juga menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana cara mengidentifikasi awal
dan akhir dari episode-episode perilaku tersebut sehingga episode performa
kerja bisa dipisahkan dari aliran perilaku lainnya yang tidak relevan dengan
tujuan organisasi. Penelitian yang dilakukan oleh Newson dkk (Newson, 1973;
Newson, Engquist, & Bois, 1977) mendukung ide bahwa ketika seseorang
mengamati perilaku orang lain, mereka secara alami menempatkannya menjadi
unit-unit yang berbeda dalam pemrosesan informasi sosial. Newson dkk (1977)
berargumen bahwa individu mempersepsikan perilaku sebagai runutan logis dari unit-unit
aksi yang dibedakan oleh titik pemisah yang tetapkan sebagai awal dan akhir.
Lebih lanjut, pengamat umumnya setuju dimana letak titik pemisah tersebut,
walaupun ada perbedaan pendapat tentang lokasinya dalam aliran perilaku,
tergantung pada tujuan pengamat dan faktor-faktor situasional.
Dalam
ranah penelitian personil yang lebih dalam, unit-unit aksi logis dapat
dipisahkan dari aliran berkelanjutan perilaku kerja melalui pengaplikasian
beberapa metode analisis pekerjaan. Contohnya, prosedur inventori tugas yang mengidentifikasi
tugas-tugas khusus yang membangun kerja dan mengestimasi tingkat keterlibatan
individu dalam mengeksekusi tugas-tugas tersebut. Pernyataan tugas yang ada
dalam inventori tersebut menggambarkan aktivitas yang merupakan bagian-bagian
pekerjaan yang bisa diidentifikasi awal dan akhirnya (McCormick, 1979).
Sederhananya, inventori tugas seorang operator mesin mungkin mengandung pernyataan seperti berikut: mengartikan
gambar-gambar teknik, mengebor titik tengah lubang, menyetel alat pemotong
dengan mesin-mesin penunjang lain seperti alat gerinda, alat bor sesuai
spesefikasi yang ditentukan, dan menyesuaikan peralatan elektronik dan mekanik
(McCormick, 1979:136).
Teknik
peristiwa kritis adalah metode analisis pekerjaan lainnya yang bisa digunakan
untuk mengidentifikasi unit-unit aksi logis dalam aliran perilaku kerja.
Peristiwa kritis adalah contoh-contoh perilaku khusus yang efektif dan tidak
efektif dalam area aktivitas yang terbatas (Flanagan, 1954; McCormick, 1979),
sesuai dengan tujuan kita, area aktivitas tersebut adalah aktivitas kerja.
Performa adalah perilaku yang
mengandung nilai yang diharapkan organisasi
Performa
hanya merujuk pada perilaku yang dapat membuat perbedaan pada pencapaian tujuan
organisasi. Wilayah performa mencakup perilaku-perilaku yang mungkin memiliki
efek positif maupun negatif pada pencapaian tujuan organisasi. Jadi, episode
perilaku dalam ranah performa yang ditampilkan masing-masing individu mungkin
mengandung nilai yang diharapkan organisasi dalam tingkat yang berbeda-beda,
yang nilainya bergerak dari sedikit hingga secara ekstrim positif untuk
perilaku-perilaku yang dapat membantu organisasi mencapai tujuan-tujuannya, dan
sedikit hingga ekstrim negatif untuk perilaku-perilaku yang dapat merintangi
organisasi dalam mencapai tujuan-tujuannya.
Dimensi performa kerja
Borman
dan Motowidlo (1993) membedakan antara performa kerja dengan performa
kontekstual pada saat perhatian penelitian dan praktek di ranah seleksi
karyawan cenderung hanya terfokus pada salah satu ranah performa dan cenderung
untuk mengabaikan atau menganggap enteng bagian lain yang sebenarnya penting
dalam efektifitas organisasi. Untuk menjelaskan bagaimana perbedaan antara
kedua bagian performa ini, kami menganggap bahwa bagian yang cenderung paling
sering dikenal dan menjadi target dalam penelitian dan praktek seleksi mengarah
pada aktivitas-aktivitas yang biasanya muncul pada deskripsi pekerjaan formal.
Kami menamakannya sebagai task
performance (performa tugas). Salah satunya melibatkan aktivitas-aktivitas
yang secara langsung mengubah bahan baku menjadi barang dan jasa yang menjadi
produk dari suatu organisasi. Seperti aktivitas-aktivitas menjual barang
dagangan di toko, mengoperasikan mesin-mesin produksi di pabrik, mengajar di
sekolah, melakukan pembedahan di rumah sakit, dan menguangkan cek di bank.
Bentuk
kedua dari performa kerja melibatkan aktivitas-aktivitas yang melayani dan
memelihara inti teknis dengan menyediakan bahan baku, mendistribusikan produk
jadi atau menyediakan rencana-rencana penting, koordinasi, supervisi atau
fungsi-fungsi staff yang memungkinkannya untuk bisa berfungsi dengan efektif
dan efisien. Ketika tugas-tugas ini dilakukan dengan efektif, mereka menjadi
episode perilaku yang memiliki nilai positif yang diharapkan oleh organisasi
karena perilaku-perilaku tersebut memfasilitasi pemroduksian produk organisasi.
Jadi, kawasan performa kerja meliputi episode-episode perilaku yang
merepresentasikan aktivitas-aktivitas yang dilakukan dengan baik dan
episode-episode perilaku yang merepresentasikan aktivitas-aktivitas tugas yang
dilakukan dengan kurang baik, dengan kaitannya pada variasi mereka terhadap
nilai yang diharapkan organisasi.
Kami
berargumen bahwa bagian dari ranah performa yang secara relatif diabaikan dalam
penelitian dan praktek seleksi juga bernilai bagi organisasi. Namun untuk
menjelaskan perbedaannya dengan performa tugas, kami menyebutnya sebagai contextual performance (performa
kontekstual) karena kami menetapkan istilah ini untuk menjelaskan
perilaku-perilaku yang berkontribusi pada efektifitas organisasi melalui
pengaruhnya pada keadaan (konteks) psikologis, sosial dan kondisi kerja dalam
organisasi. Individu bisa berkontribusi melalui konteks kerja dalam beberapa
cara.
Salah
satu caranya adalah dengan mempengaruhi individu lain dalam organisasi sehingga
mereka menjadi lebih senang untuk melakukan perilaku-perilaku yang diharapkan
organisasi. Sederhananya, perilaku-perilaku seperti meningkatkan aksi individu
dalam mengembangkan perasaan positif terhadap orang lain, menghindari
permusuhan dan konflik, mengembangkan kepercayaan interpesonal memiliki nilai
positif bagi organisasi karena pengaruhnya pada konteks sosial pekerjaan akan
meningkatkan kualitas komunikasi dan kerjasama dan membuat kegiatan
berkoordinasi dalam menyelesaikan tugas-tugas interdependen (saling tergantung,
bersama) akan menjadi lebih mudah untuk dilakukan.
Cara
kedua untuk berkontribusi pada konteks kerja adalah dengan meningkatkan
kesiapan individu untuk melakukan perilaku-perilaku yang berharga bagi
organisasi. Contohnya, hal-hal yang dilakukan oleh individu untuk mengembangkan
pengetahuan dan keterampilannya memiliki nilai positif bagi organisasi karena
peningkatan dalam pengetahuan dan keterampilan akan meningkatkan performa
mereka dalam area yang berhubungan dengan peningkatan pengetahuan dan
keterampilan tersebut. Sementara itu, perilaku seperti mengkonsumsi alkohol
atau narkoba pada saat bekerja memiliki nilai negatif karena perilaku-perilaku
ini menghancurkan kesiapan individu untuk menampilkan perilaku kerja dengan
efektif.
Cara
ketiga untuk berkontribusi dalam konteks kerja adalah dengan
aktifitas-aktifitas yang berdampak pada sumber daya tangibel (nyata, terlihat)
organisasi. Perilaku-perilaku seperti membersihkan ruangan rapat setelah
melakukan rapat, menggunakan barang-barang pribadi seperti mobil keluarga dan
komputer pribadi dalam urusan kerja, dan mematikan lampu dan peralatan
elektronik di ruangan kerja ketika meninggalkan kantor memiliki nilai positif
karena perilaku-perilaku ini memiliki dampak langsung pada aspek tangibel pada
konteks organisasi.
Ketiga
bentuk umum dari performa kontekstual ini menekankan ciri-ciri yang berbeda
dalam konteks psikologis, sosial dan organisasi dari kerja. Bentuk yang pertama
fokus pada elemen kontekstual dalam bentuk
keadaan psikologis orang lain, berkaitan dengan karakteristik kelompok
dan organisasi secara keseluruhan. Perilaku-perilaku yang mempengaruhi
keadaan-keadaan psikologis ini dan berkaitan karakteristik dengan kelompok atau
organisasi memiliki nilai positif ataupun negatif karena mereka mempengaruhi
keinginan orang lain untuk melakukan
aksi yang berkontribusi pada efektifitas organisasi. Bentuk kedua fokus pada
elemen kontekstual dalam bentuk kesiapan individu untuk berkontribusi.
Perilaku-perilaku yang berdampak pada kesiapan individu memiliki nilai negatif
dan positif tergantung pada apakah ia menguatkan atau melemahkan keinginan
individu untuk melakukan aksi-aksi yang memiliki kontribusi dalam efektifitas
organisasi. Bentuk ketiga fokus pada elemen kontekstual dalam bentuk sumber
daya tangibel organisasi. Perilaku-perilaku yang berdampak pada elemen ini
memiliki nilai positif dan negatif tergantung pada apakah perilaku-perilaku
tersebut memelihara/menjaga atau merusak/menghabiskan sumber daya organisasi.
Borman
dan Motowidlo (1993) menyatakan lima macam aktifitas kontekstual; bersedia
melakukan tugas-tugas yang secara formal tidak menjadi bagian tugasnya;
memberikan (memperlihatkan/menunjukkan) antusiasme dan usaha tambahan ketika dibutuhkan untuk menyelesaikan
tugas dengan sukses; membantu dan bekerjasama dengan orang lain; mengikuti
prosedur dan aturan organisasi bahkan ketika terasa tidak nyaman secara
personal; menyokong, membantu dan mempertahankan tujuan-tujuan organisasi
(Borman & Motowildo, 1993). Setelah melakukan penelitian mendalam, Borman
dan Motowidlow menemukan dimensi-dimensi yang mendasari performa kontekstual
yaitu; dukungan pada individu (personal support),
dukungan pada organisasi (organizational
support), dan inisiatif yang cermat (conscientious
initiative), dimana:
- Mendukung individu: menolong orang lain dengan memberikan saran, mengajarkan kepada mereka pengetahuan dan keterampilan yang berguna, secara langung mengerjakan tugas mereka, dan memberikan dukungan emosional untuk permasalahan-permasalahan personal yang mereka alami; bekerjasama dengan orang lain dengan cara menerima masukan mereka, memberitahukan kepada mereka tentang hal-hal atau kejadian yang harus mereka ketahui, dan meletakkan tujuan kelompok di atas minat pribadi; memperlihatkan perhatian, sopan-santun dan kebijaksanaan dalam berhubungan dengan orang lain, juga memotivasi dan menunjukkan kepercayaan kepada mereka.
- Mendukung organisasi: mewakili organisasi dengan cara mempertahankan dan mempromosikannya; menunjukkan kepuasan dan memperlihatkan loyalitas dengan bertahan dengan organisasi menghadapi penderitaan/kesulitan temporal; mendukunga misi dan tujuan organisasi, menyetujui prosedur serta aturan organisasi, dan menyarankan perbaikan.
- Inisiatif yang cermat: melakukan usaha ekstra walaupun dalam kondisi yang sulit; berinisiatif untuk melakukan apa saja untuk mencapai tujuan walaupun tidak temasuk dalam tanggung jawab formal posisi sendiri dan menemukan pekerjaan produktif ekstra untuk dilakukan ketika tanggung jawab pribadi sudah selesai dikerjakan; mengembangkan pengetahuan dan keterampilan dengan mengambil keuntungan dari kesempatan di dalam ataupun di luar organisasi dengan menggunakan sumber daya dan waktu pribadi.
Referensi:
Borman,
Walter C., Ilgen, Daniel R., & Richard, Klimoski J., 2003, Handbook of
Psychology: Volume 12 Industrial and Organizational Psychology, Canada: Jhon
Wiley & Sons, Inc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar