Minggu, 03 April 2011

Manusia adalah Aset yang Paling Penting


“If you want one year of prosperity, grow grain. If you want ten years of prosperity, grow trees. If you want one hundred years of prosperity, grow people” (Chinese proverb)

Kalau lomba kalimat ter-klise dilakukan, berikut ini adalah calon pemenangnya: “Yang tidak pernah berubah adalah perubahan itu sendiri,” dan ini favorit saya, “Manusia kita adalah aset yang paling penting bagi perusahaan.” Pernyataan klise selalu diyakini benar, tapi penerapannya sering terabaikan.
Sebuah perusahaan tekstil yang telah go public pernah menuliskan kalimat “manusia kita adalah…” di dalam laporan tahunannya, meskipun hampir tidak pernah berinvestasi dalam pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM).



Dampak positif dari pengelolaan SDM pada pertumbuhan bisnis sudah tidak terbantahkan. Seorang direktur utama dan pemilik sebuat perusahaan ritel terkemuka di Indonesia yang telah bertumbuh hampir sepuluh kali lipat dalam waktu delapan tahun terakhir menyatakan, bahwa saat ini faktor penentu dan juga penghambat paling utama untuk bertumbuh adalah manusia.

Dalam buku HR Scorecard (2001) karangan Profesor Dave Ulrich, seorang guru manajemen dari University of Michigan, memaparkan fakta hasil riset yang menunjukkan bahwa, secara rata-rata, perusahaan-perusahaan yang memiliki praktek SDM yang baik memiliki penjualan per karyawan empat kali lebih tinggi dan market-to-book value tiga kali lebih besar dari perusahaan-perusahaan yang kurang profesional dalam pengelolaan SDM.

Pengelolaan SDM secara profesional bukanlah tanggung jawab bagian atau divisi SDM semata-mata, tapi merupakan tanggung jawab CEO, Directors, dan semua lini maupun bagian dalam perusahaan. Dalam buku HR Champions (1996) dan HR Value Proposition (2005) yang merupakan kitab pegangan bagi praktisi SDM di seluruh dunia hari ini, Dave Ulrich membagi peran pengelolaan SDM menjadi beberapa bagian.
Studi terhadap ratusan perusahaan best practice menunjukkan bahwa peran Employee Champion untuk mendorong karyawan agar termotivasi dan memiliki kompetensi untuk bekerja dengan produktif sehari-hari justru merupakan tanggung jawab dari atasan yang bersangkutan, bukan semata-mata peran divisi SDM.
Konsep HR Champions telah menginspirasi berbagai perusahaan di Indonesia dalam mengelola SDM-nya. Saran dari Dave Ulrich agar divisi SDM bergerak dari ahli di bidang administrasi (Administrative Expert) dan bergerak menjadi Strategic Partner telah mendorong berbagai restrukturisasi.

Sebuah perusahaan consumer goods meng-outsource pembayaran gajinya untuk menciptakan waktu lebih banyak bagi divisi SDM untuk berpikir dan melakukan aktivitas yang lebih strategis. Sebuah bank membentuk divisi Organization Development untuk menjalankan peran Strategic Partner (seperti komunikasi visi misi dan nilai budaya perusahaan atau restrukturisasi organisasi sesuai perubahan strategi perusahaan). Pada dasarnya, divisi SDM diminta untuk melihat satuan kerja bisnis dan operasi sebagai ‘pelanggan’ SDM.
Namun evolusi pengelolaan SDM belum berakhir. Beberapa bulan lalu, Dave Ulrich meminta saya me-review draft artikel beliau yang belum dipublikasikan (dan akan menjadi topik seminar kunjungan beliau ke Indonesia di bulan April mendatang).

Pemikiran terbaru dalam artikel ini sangat provokatif dan akan mengubah tren SDM di masa depan. Tidak lagi sekedar menjadi Strategic Partner bagi satuan kerja bisnis internal di dalam perusahaan, di masa depan, divisi SDM harus menganalisa konteks lingkungan eksternal dimana organisasi berada. Dan SDM harus mampu menciptakan nilai bagi stakeholder eksternal perusahaan: pelanggan, masyarakat, dan pemegang saham.

Perubahan lingkungan teknologi, misalnya, dapat merubah strategi rekrutmen SDM dari yang berorientasi print-media menuju on-line dan network media. Kemajuan teknologi juga dapat mendorong penerapan flexi-hours dalam bekerja. Tren green dapat mendorong SDM menerapkan kebijakan yang mengurangi jejak karbon. Dengan kata lain, analisa STEPED (Social, Technology, Economy, Political, Environment, dan Demography) tidak lagi hanya menjadi domain unit bisnis, tetapi juga tanggung jawab divisi SDM.
Secara proaktif, pengelolaan SDM perlu beradaptasi dengan faktor eksternal organisasi sehingga menjadi salah satu keunggulan kompetisi dalam memberi nilai tambah langsung kepada stakeholder eksternal.
Pelanggan eksternal dapat dilibatkan dalam penentuan kriteria kompetensi talent yang akan direkrut, bahkan juga dilibatkan dalam memberi pelatihan kepada karyawan. Dengan inisiatif divisi SDM, sebuah perusahaan produsen mainan anak-anak melibatkan karyawannya beserta keluarga berkunjung ke sekolah-sekolah di sekitar lingkungan perusahaan untuk mengecat dan merenovasi ruang kelas belajar. Karyawan yang dilibatkan merasakan adanya work-life balance, hubungan dengan masyarakat sekitar menjadi lebih baik, dan reputasi perusahaan menjadi lebih positif.

Untuk berhasil menjalankan peran SDM yang baru ini, organisasi perlu memiliki sistem pengelolaan SDM yang mengembangkan individu, organisasi, dan kepemimpinan. Terasa beratkah? Keunggulan kompetisi yang berkesinambungan adalah keunggulan yang susah ditiru. Salah satunya adalah dengan menerapkan sistem pengelolaan SDM yang terus berevolusi. Memang benar, yang tidak pernah berubah adalah perubahan itu sendiri! (Suwardi Luis, CEO dari PT GML Performance Consulting). 
 
Editor: Erlangga Djumena, Sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/03/15/10035979/Manusia.adalah.Aset.yang.Paling.Penting

Tidak ada komentar:

Posting Komentar